Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan berkas perkara Bupati nonaktif Hulu Sungai Utara (HSU) Abdul Wahid (AW) dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) telah P21 atau lengkap. Sehingga, tim penyidik menyerahkan Abdul Wahid dan barang bukti atau tahap II kepada tim jaksa. "Hari ini tim penyidik melaksanakan penyerahan tersangka dan barang bukti dengan tersangka AW pada tim jaksa karena kelengkapan berkas perkaranya dinyatakan lengkap," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (17/3/2022).
Ali mengatakan, tim jaksa masih tetap melakukan penahanan terhadap Abdul Wahid selama 20 hari, terhitung sejak 17 Maret 2022 hingga 5 April 2022 di Rutan KPK pada gedung Merah Putih. Dalam waktu 14 hari kerja, tambahnya, tim jaksa segera menyusun surat dakwaan dan melimpahkan berkas perkaranya ke Pengadilan Tipikor. "Persidangan dijadwalkan akan berlangsung di Pengadilan Tipikor pada PN Banjarmasin," kata Ali.
Tersangka TPPU KPK telah menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka TPPU pada 28 Desember 2021. Penetapan itu merupakan pengembangan kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten HSU Tahun 2021 2022 yang telah lebih dulu menjerat Abdul Wahid.
KPK menduga ada beberapa penerimaan oleh Abdul Wahid yang dengan sengaja disamarkan dan diubah bentuknya serta dialihkan kepada pihak lain. Ali menjelaskan, TPPU diterapkan karena diduga ada bukti permulaan yang cukup terjadi perubahan bentuk dari hasil tindak pidana korupsi kepada aset aset bernilai ekonomis seperti properti, kendaraan, dan menempatkan uang dalam rekening bank. "Informasi yang kami terima, diduga ada pihak pihak yang dengan sengaja mencoba untuk mengambil alih secara sepihak aset aset yang diduga milik tersangka AW," kata Ali, Selasa (28/12/2021).
KPK dengan tegas mengingatkan agar dalam proses penyidikan kasus ini, tidak ada pihak pihak yang sengaja mencoba mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan perkara. "Karena kami tak segan terapkan sanksi pidana sebagaimana ketentuan Pasal 21 UU Tipikor," ujarnya. Pasal 21 UU Tipikor berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta."
Tersangka suap dan gratifikasi KPK telah mengumumkan Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi pada 18 November 2021. Penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Maliki selaku pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara, Marhaini dari pihak swasta/Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi dari pihak swasta/Direktur CV Kalpataru.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan tersangka Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara untuk dua periode (2012 2017) dan 2017 2022) pada awal 2019 menunjuk Maliki sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara. Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh Maliki untuk menduduki jabatan tersebut karena sebelumnya telah ada permintaan oleh tersangka Abdul Wahid. Penerimaan uang oleh tersangka Abdul Wahid dilakukan di rumah Maliki pada Desember 2018 yang diserahkan langsung oleh Maliki melalui ajudan tersangka Abdul Wahid.
Pada sekitar awal 2021, Maliki menemui tersangka Abdul Wahid di rumah dinas jabatan bupati untuk melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara Tahun 2021. Dalam dokumen laporan paket plotting pekerjaan tersebut, Maliki telah menyusun sedemikian rupa dan menyebutkan nama nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek tersebut. Selanjutnya, tersangka Abdul Wahid menyetujui paket plotting tersebut dengan syarat adanya pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee, yaitu 10 persen untuk tersangka Abdul Wahid dan 5 persen untuk Maliki.
Adapun, pemberian komitmen fee yang diduga diterima oleh tersangka Abdul Wahid melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp500 juta. Selain melalui perantaraan Maliki, tersangka Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara, yaitu pada 2019 sekitar Rp4,6 miliar, pada 2020 sekitar Rp12 miliar, dan pada 2021 sekitar Rp1,8 miliar.