Delapan jasad santri korban tewas kebakaran Pesantren Miftahul Khoirot di Karawang Jawa Barat ditemukan dalam kondisi berpelukan. Keterangan tersebut disampaikan oleh seorang anggota pemadam kebakaran Posko Cilamaya Wetan Fitra Adi Sutrisno saat mengevakuasi korban. Para korban tersebut tampak saling berpelukan seperti saling melindungi.
"Ada juga yang di dekat jendela, mungkin mau menyelamatkan diri (dengan mencoba membuka teralis jendela), tapi enggak bisa karena masih kecil," kata Adi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/2/2022). Selain itu, Adi menyebut bau jasad mereka pun tidak seperti bau jasad yang terbakar. Justru saat evakuasi dilakukan malah tercium bau wangi. "Mungkin ada beberapa faktor, bisa dari minyak wangi santri yang ikut terbakar atau mungkin karena mereka syahid. Tapi memang baunya beda," ucapnya.
Ketika melakukan pemadaman dan evakuasi, Adi mengaku terenyuh bercampur sedih. Pasalnya, para korban tewas yang ditemukan masih berusia sangat muda. Hal yang sama disampaikan Kepala Bidang Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Karawang Rohmat. "Iya info dari temen temen yang madamin di atas (baunya) nggak seperti biasanya," kata Rohmat.
Rohmat menyebut dua regu damkar diturunkan untuk memadamkan kebakaran di Pesantren Miftahul Khoirot pada Senin (21/2/2022), yakni dari Pos Cilamaya Wetan dan Telagasari. Proses pemadaman juga dibantu Damkar Pertamina. Diberitakan sebelumnya, delapan santri tewas akibat kebakaran di Pesantren Miftahul Khoirot, Desa Manggungjaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Kabupaten Karawang, Senin (21/2/2022) sekitar pukul 13.00 WIB. Mereka yakni RA (7) asal Subang, APG (11) asal Subang, AS (7) asal Cikampek, M (12) asal Cilamaya Kulon, MR (13) asal Cilamaya, MF (7) asal Subang, MAM (12) asal Gandok Pedes, dan R asal Tegalsawah Karawang.
Selain itu, dua santri lainnya mengalami luka luka dan kini telah mendapat perawatan di RSUD Karawang. Kapolres Karawang AKBP Aldi Subartono mengatakan, dugaan awal, kebakaran berawal adanya percikan api di kipas angin yang kemudian menyambar ke kasur. Pihaknya pun tengah menyelidiki lebih dalam perihal penyebab kebakaran itu. Mereka yang menjadi korban saat itu tengah istirahat tidur siang.
Delapan yang meninggal tak sempat menyelamatkan diri lantaran api membesar di pintu keluar. Pesantren yang berada di Desa Mangungjaya, Kecamatan Cilamanya Kulon, Kabupaten Karawang itu dikenal sebagai pesantren tahfiz pertama di Karawang. Pesantren tersebut dibangun pertama kali oleh Kyai Haji Zarkasih pada tahun 1932.
Sang Kyai kemudian mencari ilmu ke ke Syekh Tubagus Ahmad Bakri atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mama Sempur di Purwakarta. Setelah belajar dari Mama Sempur, Kiai Haji Zarkasih mendirikan Pesantren Pusaka. Abdul Muhaimin (31), pengurus pesantren bercerita kala itu pesantran diikuti oleh bapak bapak.
Namun dengan berjalannya waktu banyak anak anak yang ikut mengaji. "Awalnya hanya pengajian bapak bapak. Kemudian lama lama anak anak juga ikut ngaji. Santri kalong istilahnya," kata Muhaimin. Sang Kyai kemudian menikahkan anak perempuannya dengan penghapal Al Quran, Kai Haji Muhtadin Al Hafiz.
Sang menantu kemudian meneruskan Pesantren Pusaka dan menggantinya dengan nama Pesantren Miftahul Khoirot. Muhaimin bercerita saat ini pondok pesantren dipimpin oleh generasi ketiga yakni Kiai Haji Agus Muhtadin. Pesantren tersebut pun kini dikenal dengan menghasilkan para santri penghapal Al Quran. Jumlah santri pun terus bertambah hingga 600 orang.
Para santri adalah anak anak yang terbagi menjadi 400 santri perempuan dan 200 santri laki laki. "Lalu semakin berkembang santrinya dari 100 orang, kemudian bisa mencapai 200 orang lebih," kata Muhaimin. Ia bercerita sang ayah ingin banyak anak anak yang mneghapal Al quran hingga pihak pondok mendirikan madrasah tsanawiyah (MTS) dan madrasah aliyah (MA).
Pesantren tersebut kemudian diurus oleh 14 anak Kiai Haji Agus Muhtadin. "Seluruh anak abah itu ada 14 orang dan saya anak kesepuluh. Semua anaknya mengurus bagian yang berbeda dan saya untuk mengurus santri yang remaja. Untuk yang menjadi ketua yayasan atau pengasuh itu anak tertua," katanya. Ia mengaku kebakaran yang menewaskan delapan santrinya menjadi pukulan bagi pesantren. Menurut Muhaimin bagi mereka, para santri seperti anaknya sendiri.
"Para santri itu seperti anak anak kami sendiri," ujar Abdul. Sejak kebakaran terjadi, banyak masyarakat hingga kalangan pejabat yang datang ke pondok pesantren untuk menyampaikan bela sungkawa